Ayo Kawan – Ombudsman Republik Indonesia (ORI) mengungkapkan kekhawatirannya terkait potensi maladministrasi yang muncul akibat pending klaim BPJS Kesehatan. Menurut ORI, hal ini bisa menghambat penyediaan berbagai fasilitas penting seperti alat kesehatan, kefarmasian, logistik penunjang, dan layanan medis terstandarisasi kepada masyarakat. Pimpinan Ombudsman RI, Robert Na Endi Jaweng, mengungkapkan dalam pernyataan pers bahwa sengketa klaim pembiayaan antara rumah sakit di Jawa Timur dan BPJS Kesehatan telah menjadi masalah serius yang berpotensi mempengaruhi kualitas pelayanan publik di bidang kesehatan.
Robert menilai bahwa permasalahan klaim yang tertunda seharusnya dipandang sebagai sebuah bentuk maladministrasi. Pasalnya, rumah sakit dan BPJS Kesehatan merupakan dua institusi yang sangat vital dalam menjalankan program jaminan kesehatan nasional. Ia menjelaskan bahwa akibat dari klaim yang tertunda, seringkali terjadi penundaan atau bahkan penghentian layanan kesehatan oleh rumah sakit, yang tentunya dapat mengancam keselamatan pasien, terutama yang membutuhkan penanganan medis segera.
Untuk mengatasi masalah ini, Ombudsman menyarankan beberapa langkah perbaikan. Pertama, pemerintah diminta untuk mengambil langkah-langkah preventif dalam mengantisipasi sengketa klaim, agar tidak menimbulkan maladministrasi yang dapat merugikan masyarakat. Pemerintah harus memastikan bahwa rumah sakit mengajukan klaim sesuai dengan ketentuan yang berlaku. Kemudian, BPJS Kesehatan harus memverifikasi klaim dengan administrasi yang benar dan lengkap, serta memastikan pembayaran klaim dilakukan tepat waktu.
Kedua, BPJS Kesehatan juga diharapkan lebih transparan dalam berkomunikasi dengan pemerintah daerah dan organisasi rumah sakit, terutama jika terdapat hambatan dalam klaim rumah sakit. Ombudsman mencatat bahwa saat ini BPJS Kesehatan cenderung pasif dan kurang berkomunikasi secara persuasif, yang menyebabkan penumpukan masalah sengketa klaim. Akibatnya, pembayaran klaim yang tertunda berlarut-larut berdampak buruk terhadap kualitas pelayanan kesehatan.
Langkah selanjutnya yang disarankan oleh Ombudsman adalah agar rumah sakit lebih akuntabel dalam pengajuan klaim. Rumah sakit diharapkan untuk memastikan laporan administrasi yang disampaikan sudah sesuai dengan standar yang ditetapkan dan bebas dari segala bentuk kecurangan, seperti klaim fiktif, manipulasi diagnosis, atau praktik fraud lainnya. Pembayaran klaim adalah hak bagi setiap fasilitas kesehatan yang telah melaksanakan kewajibannya, sehingga rumah sakit harus menjaga integritas dalam proses klaim.
Ketiga, pemerintah daerah diminta untuk lebih proaktif dalam merespon masalah pending klaim ini. Pemda tidak hanya berperan sebagai mediator saat sengketa klaim sudah terjadi, namun harus turut serta dalam mencegah potensi sengketa sejak awal. Ombudsman menyarankan agar pemerintah daerah dapat mengeluarkan peraturan daerah (perkada) terkait sanksi terhadap pihak yang tidak memenuhi kewajibannya, dan memastikan bahwa pemantauan terhadap proses klaim dilakukan secara rutin.
Terakhir, Ombudsman mendorong Kementerian Kesehatan untuk melakukan evaluasi menyeluruh terhadap proses klaim yang dilakukan oleh fasilitas kesehatan ke BPJS Kesehatan, mulai dari pelaporan layanan hingga penetapan status klaim. Evaluasi ini penting untuk memastikan bahwa klaim layanan kesehatan dapat diproses tanpa adanya maladministrasi. Kementerian Kesehatan juga diminta untuk tegas dalam menegakkan hukum dan memberikan sanksi kepada pihak-pihak yang terbukti melakukan maladministrasi dalam proses klaim.
Masalah yang terjadi di Jawa Timur ini, menurut Ombudsman, tidak hanya terbatas pada daerah tersebut, melainkan juga berpotensi terjadi di daerah lain. Oleh karena itu, langkah-langkah perbaikan yang telah disarankan diharapkan dapat mengurangi potensi maladministrasi yang dapat menghambat kualitas layanan kesehatan bagi masyarakat Indonesia.